Buletin Edisi 2: Kekerasan Seksual, Pro dan Kontra Regulasi, Norma atau Urgensi?

 




Kasus kekerasan seksual di Indonesia nampaknya menjadi isu yang terus berkembang, di mana kasusnya banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Tak sedikit korban yang akhirnya berani mengungkapkan kasusnya ke publik untuk meminta keadilan dan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan seksual dalam upaya hukum yang berlaku. Meski terkadang, beberapa kasus ini tak ada kelanjutan hingga saat ini.

Selama 2021, tercatat beberapa kasus dugaan kekerasan seksual yang mencakup pelecehan, perundungan, hingga pemerkosaan yang mendapat perhatian masyarakat. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan terlihat adanya peningkatan kasus kekerasan seksual tiap tahunnya di lingkungan Pendidikan. Perguruan Tinggi menempati urutan teratas kasus kekerasan seksual dan diskriminasi berdasarkan jenjang Pendidikan. Sehingga pada 31 Agustus 2021 disahkanlah Peraturan Mendikbud Ristek atau Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 menuai tanggapan dari berbagai pihak baik yang pro maupun kontra terhadap aturan tersebut. Sebab, ada kalangan yang menilai  Permendikbud Ristek ini melegalkan seks bebas. Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan.

Pasal 5 Ayat 2 Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menjadi sorotan. Sejumlah anggota DPR hingga ormas Islam menganggap pasal yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permendikbudristek) itu melegalkan zina lantaran ada konsep suka sama suka (konsensual) dan dianggap tidak dilandasi nilai agama.  

Sekjen Ikatan Da’i Indonesia (IKADI), Ahmad Kusyairi Suhail, mengkritik bahwa Permendikbud No. 30 Tahun 2021 kurang sesuai dengan norma – norma agama. Beliau bependapat bahwa pada pasal 3 megenai prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang mengabaikan norma agama. Hal ini bertentangan dengan Pancasila, pada Sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga perlu dicantumkan megenai norma agama pada pasal tersebut. Selain itu, beliau menambahkan pada pasal lima ini banyak mendapat sorotan. Pada pasal 5 tersebut terlihat ada kesan menimbulkan legalisasi terhadap tindakan seks bebas.

Namun banyak juga masyarakat dan ormas yang justru mendukung adanya Permendikbud No. 30 tahun 2021 ini, salah satunya Anggota Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Ala’i Najib yang bependapat bahwa peraturan ini bertujuan untuk melindungi semua, karena melindungi semua, di dalamnya tidak boleh ada yang multitafsir. Maka harus didialogkan bersama. Bahwa zina dan kekerasan seksual adalah dua hal yang berbeda.

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga angkat suara soal kontroversi consent yang dimuat dalam Pasal 5 ayat 2 Permendikbud 30 tahun 2021. Menegaskan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ tidak bisa dimaknai dengan pengertian legalisasi terhadap perbuatan asusila ataupun seks bebas. Karena sejatinya tujuan Permendikbud PPKS untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus. Jika ada yang khawatir akan legalnya zina dan seks bebas, sudah ada aturan lain yang mengatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sehingga tidak perlu memperdebatkan hal yang tidak substansial dan salah sasaran. Alangkah baiknya kita bersama-sama fokus memerangi masalah dan memerangi musuh bersama, yaitu kekerasan seksual.

Sementara itu tanggapan dari Mentri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim sebagai salah satu orang yang membuat peraturan ini dan juga mendapatkan tuduhan bahwa dirinya melegalkan seks bebas. Beliau menerangkan bahwa ketika ingin menyerang suatu permasalahan, harus menghasilkan suatu regulasi yang spesifik kepada permasalahan tersebut, permasalahannya adalah kekerasan seksual, kekerasan seksual definisinya kekerasan itu adalah secara paksa, dan apa itu secara paksa artinya tanpa persetujuan. Pemahamannya seperti “saya tidak mau itu dilakukan kepada saya tetapi itu terjadi”. Itulah alasanya secara yurisdis permendikbud ini berfokus hanya untuk kekerasan seksual.  

Nadiem makarim menganggap Permendikbud No. 30 tahun 2021 menjadi langkah awal yang penting untuk menangani kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Sehingga kasus-kasus serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari tanpa ada hukum yang mengatur dengan jelas permasalahan ini dan membuat pelaku kekerasan seksual tidak mendapatkan tindakan hukum yang semestinya.

Jadi bagaimana menurut kalian, apakah kalian termasuk yang pro terhadap peraturan ini atau yang kontra terhadap peraturan ini ?                                             

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Dewan Legislatif Mahasiswa FEB Unsoed 2019

Pelantikan dan Musyawarah Kerja DLM FEB Unsoed 2016

LAPORAN PENGAWASAN III