BULETIN VOL.02

 



BELAJAR DARI KANJURUHAN, BENAHI INSTITUSI KEPOLISIAN

"Itu yang sayangkan dari pihak mereka. Mereka menembak ke dalam tribun duduk penonton selatan 2 kali 3 kali." ~FU-Aremania

"Saya lalu ke sektor 13 (pintu) coba bantu di sana. Ya Allah, ternyata di situ sudah seperti kuburan bagi adik-adik saya." ~Eko Ari Anto-Aremania


Kesalahan penanganan suporter di kanjuruhan

Tragedi pasca pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang dinyatakan sebagai yang terbesar kedua di dunia sepanjang sejarah sepakbola.


Tragedi pasca pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang dinyatakan sebagai yang terbesar kedua di dunia sepanjang sejarah sepakbola.

Kerusuhan yang muncul setelah pertandingan disebabkan oleh penyelenggara dan aparat penerbit yang tidak profesional dan tidak memahami tugas dan peran masing-masing. 

Penggunaan gas air mata yang tidak sesuai dengan prosedur pengendalian massa mengakibatkan suporter di tribun berdesak-desakan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan dan saling bertabrakan. Hal tersebut juga diperparah dengan over kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari.

Menilik Kembali Institusi Polri di Kanjuruhan

Peraturan FIFA Pasal 19 poin b FIFA tentang Stadion Safety and Security Regulation, menyatakan secara jelas larangan penggunaan gas air mata di stadion. 

“No firearms or “crowd control gas” shall be carried or used,” 

Selain itu, hal yang menewaskan ratusan orang bahkan terdapat puluhan anak meninggal tidak bisa hanya dikatakan pelanggaran kode etik lagi. Ini merupakan pelanggaran HAM yang terjadi akibat tata kelola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati dan memastikan prinsip dan norma keselamatan dan keamanan. 

Penonton yang tidak bersalah menjadi korban dari tragedi ini. Gas air mata yang disemprotkan tidak hanya ke penonton yang turun lapangan, tetapi juga penonton yang berada di tribun. hal ini memperparah kericuhan ditambah beberapa pintu stadion ditutup. 

Bukanlah keadilan lagi apabila pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini dipidana pasal atas unsur kelalaian saja, tetapi juga harus ada unsur kesengajaan didalamnya.

Polisi Kurang Terlatih Kendalikan Massa

Berkaca dari kejadian pada tahun-tahun sebelumnya, polri sering menggunakan kekerasan untuk menekan massa, dan hampir disetiap kejadian tidak ada pertanggungjawaban serius. 

Penggunaan gas air mata antara lain, seperti kejadian pada: 

  • Tahun 2019 antara polisi dengan pengunjuk rasa yang tidak menerima kemenangan Presiden Joko Widodo dalam pemilu menewaskan 10 orang dalam unjuk rasa. 

  • Setahun kemudian, polisi memukuli ratusan orang di 15 provinsi saat unjuk rasa pengesahan UU baru. 

  • April 2020 di kota Ternate, polisi menembakkan gas air mata hingga melukai para pengunjuk rasa. 

Walaupun polri beberkan selalu mengadakan evaluasi, tetapi nyatanya tidak ada penindaklanjutan yang tegas dan bahkan kesalahan yang sama kembali dilakukan dengan lebih parah saat bentrok dengan Aremania pada Sabtu, 1 Oktober lalu.

Aparat Kurang Serius Menangani Kasus Ini

Sudah lebih dari satu bulan penyidikan Tragedi Kanjuruhan, Malang, berjalan. Namun, belum menemukan titik terang. Berkas perkara para tersangka seperti dipingpong antara penyidik Polda Jawa Timur dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Keadilan bagi korban dianggap masih jauh dari harapan. 

Sudah dua kali pengembalian berkas oleh Kejati karena banyak poin dalam berkas yang masih belum diperbaiki polisi dan dikabarkan pada 1 Desember untuk yang ketiga kalinya kejati mengembalikan berkas tersebut dari tak adanya penambahan pasal, penambahan tersangka, serta belum ada rekonstruksi ulang yang sesuai dengan fakta.

Public Trust Issue dengan Aparat

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, tingkat kepercayaan publik kepada Polri mulai mengalami penurunan mulai dari 72% menjadi 70% pada Agustus 2022. Angkanya kemudian anjlok sebesar 17% menjadi 53% pada Oktober 2022. Survei pada 6-10 Oktober 2022 ini dilakukan terhadap 1.212 responden di seluruh Indonesia. Dilakukan dengan metode random digit dialing dengan tingkat toleransi kesalahan (margin of error) sebesar 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%.

Benahi Institusi Polisi

Pertama, Presiden untuk secara serius mengevaluasi institusi Kepolisian dengan menginstruksikan Kapolri melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap tugas-tugas Kepolisian saat ini. Langkah peneguran terhadap Kapolri beberapa waktu lalu tentu tidak cukup. Butuh langkah nyata yang serius untuk menghilangkan kultur kekerasan dan sewenang-wenang kepolisian dalam rangka reformasi institusi Kepolisian. 

Kedua, Kapolri untuk menindak tegas anggotanya yang melakukan pelanggaran seperti enggan menyelesaikan laporan masyarakat. Selain itu, Kapolri juga harus memperketat mekanisme pengawasan internal dengan meningkatkan efektivitas fungsi Propam. Setiap pelanggaran harus diselesaikan secara akuntabel dan berkeadilan, baik lewat sanksi etik, disiplin maupun pidana. 

Ketiga, lembaga pengawas eksternal dapat secara aktif dan meningkatkan kinerja pengawasannya terhadap institusi Kepolisian sesuai dengan porsi lembaga masing-masing.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hukum ditujukan untuk menegakkan keadilan. Ada banyak korban dalam kasus Kanjuruhan. Namun, masih banyak hal yang perlu dibenahi untuk menghilangkan kultur polisi dalam pengendalian massa. Bukan hanya aparat polri yang bersalah memang, tapi mengingat kejadian sebelum-sebelumnya, nampaknya belum ada perubahan yang mendasar pada aparat polri yang juga mengakibatkan turunnya tingkat kepercayaan publik. Pengawasan terhadap Polri yang efektif sangat penting untuk menjaga akuntabilitas Polri sebagai lembaga yang erat perannya dengan masyarakat. Pengawasan tersebut dilakukan untuk memastikan aparat kepolisian tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Lebih lanjut, penindakan tersebut dilakukan untuk membuat efek jera agar polisi tidak kembali melakukan penyelewengan dalam bertugas. Kegagalan akuntabilitas yang berulang dilakukan oleh Polri lewat maraknya impunitas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri merupakan bukti bahwa selama ini pengawasan terhadap Polri masih kurang efektif. Maka dari itu, diperlukan evaluasi kembali mengenai sistem pengawasan kinerja Polri selama ini.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Dewan Legislatif Mahasiswa FEB Unsoed 2019

Pelantikan dan Musyawarah Kerja DLM FEB Unsoed 2016

LAPORAN PENGAWASAN III